Jumat, 15 April 2011

Kuta Bertabur Sampah

Pemerintah Daerah Badung gencar membersihkan pantai Kuta dari sampah yng berserakan. 26 unit truk sampah dikerahkan. Plus dengan tambahan 2 unit loader, 76 orang petugas DKP dan ratusan tenaga pedagang, satgas pantai dan bala wisata Kuta. Sampah yang diangkut dari pantai tujuan wisata Bali itu sekitar 182 Ton (Radar Bali 8/4/2011). Luar biasa.

Yang lebih luar biasa lagi adalah sikap pemda yang sebelumnya sangat tidak peduli. Padahal masalah sampai ini sudah sering diberitakan media local seperti Bali Post, Radar Bali, hingga Kompas. Tapi semua hanya dianggap angin. Dan begitu majalah Time yang berbasis di Amerika Serikat memberitakan persoalan sampah ini dengan judul Holidays in Hell: Bali’s Ongoing Woes. Semua jadi kalang kabut.


Ada dua hal yang menjadi perhatian. Pertama, kenapa pihak yang terkait dengan masalah sampah ini lebih suka menunggu hingga masalah menjadi besar. Kedua, sikap yang lebih mementingkan perkataan bule dari pada sodara sendiri.

Yang pertama menunjukan masih kentalnya mental proyek dari para pejabat yang dibebani tanggung jawab. Sebab jika sampah sedikit maka tidak ada tambahan dana untuk membersihkannya. Padahal anggaran untuk program kebersihan dan lingkungan selalu ada. Sehingga muncul pikiran kenapa harus bekerja jika diam pun sudah dapat duit. Kemudian terjadi pembiaran terhadap sampah-sampah yang hanya sedikit. Sampai akhirnya sampah menggunung.

Setelah sampah menggunung dimana-mana baru kelabakan. Kemudian selalu muncul kambing hitam yang disalahkan. Seperti bahwa sampah-sampah itu berasal dari daerah lain sebagai pembelaan diri. Atau seperti yang dibilang oleh Menteri Pariwisata, bahwa menumpuknya sampah ini karena perubahan cuaca. Padahal yang namanya cuaca itu hanya ada mendung, hujan, dan berawan, dan ngga ada yang bersampah. Atau penyataan yang lebih bersifat apologi, bahwa permasalahan ini sedang ditangani oleh pihak yang berwenang. Tanpa adanya aksi yang nyata.

Bahwa bule itu ras manusia paling unggul, jadi semakin terbukti. Apa yang dikatakan bule jauh lebih didengar dan dipatuhi dari pada sodaranya sendiri yang sama-sama berkulit coklat. Lembaga-lembaga lingkungan seperti Walhi, WWF, dan Koran2 lokal sudah banyak menyorot masalah kebersihan pantai Kuta tidak pernah digubris. Tapi begitu satu orang bule bernama Andrew Marshal bikin tulisan kecil disebuah majalah benama Time yang kebetulan punyanya orang bule juga. Dan pabriknya juga ada di Negara bule, Amerika sono. Kelabakan dan kebakaran jenggot lah orang2 ini.

Ada yang menanggapi dengan santai tapi ada pula yang emosi. Gubernur Bali Made Mangku Pastika lebih bersikap santai, karena menurutnya apa yang ditulis oleh om Andrew Marshal itu sesuai dengan fakta. Seperti sampah di pantai Kuta dan kemacetannya.

Bahwa benar Bali adalah tujuan wisata maka, kenyamanan wisatawan adalah segala-galanya. Oleh sebab itu maka sampah dan kemacetan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan kepariwisataan. Tapi jauh lebih penting adalah bahwa Bali adalah rumah kita sendiri. Meski turis itu adalah tamu, dan tamu adalah raja. Tuan rumah tetap di atas raja dan berkuasa penuh atas rumahnya sendiri. Turis atau tamu jika tidak merasa nyaman bisa saja tidak datang bertamu. Tapi jika tuan rumah sudah tidak merasa nyaman dengan rumahnya sendiri, mau bagaimana? Apakah mau pindah rumah? Lalu kemana?

1 komentar: